Selasa, 29 Maret 2011

Mengapa Harga Pakan Naik?

Pada awal tahun ini, harga pangan global mencapai rekor tertinggi selama 20 tahun, demikian menurut badan pangan dan pertanian dunia PBB (FAO).

Index Harga Pangan FAO, yang mengukur perubahan harga pangan setiap bulan, mencatat peningkatan 231 poin pada bulan Januari lalu, naik 3,4% dibanding Desember 2010. Harga biji-bijian global saat ini sudah meningkat 50-70% dibanding harga pada pertengahan tahun 2010, menurut FAO dan Program Pangan Dunia (WFP). Kecenderungan ini mengkhawatirkan tidak hanya bagi jutaan pengangguran di Amerika Serikat yang tengah berjuang untuk pulih dari resesi ekonomi, terutama bagi rakyat negara-negara sedang berkembang yang membelanjakan lebih banyak pendapatannya untuk pangan.

Lebih jauh, FAO melaporkan meningkatnya harga komoditi di seluruh dunia disebabkan oleh terbatasnya stok dan cuaca yang tidak menentu. Sebut saja Cyclone Yasi di Australia telah mengakibatkan banjir besar dan merusak panen komoditi, sebelumnya banjir dan panas telah mengganggu kualitas gandum di Amerika Serikat. Cuaca buruk juga mengganggu hasil panen komoditi di negara-negara Amerika Latin dan Rusia. Di Indonesia, hujan lebat telah mengurangi prediksi produksi padi sehingga pemerintah harus mengimpor dari negara tetangga.

Seperti diketahui, harga pangan domestik ditentukan oleh harga komoditi seperti gandum, jagung, beras dan kedelai. Data FAO menunjukkan trend harga yang meningkat pada pertengahan 2010 dan akan terus berlangsung pada 2011. Harga pangan di kawasan Asia telah meningkat hingga 20%. Negara-negara seperti India dan Indonesia menunjukkan peningkatan harga double digit.

Pangan merupakan komponen penting Indeks Harga Konsumen, dan negara-negara seperti Philippina dan Vietnam telah menunjukkan peningkatan indeks double digit akibat tingginya harga pangan.

Banyak negara kini harus berjuang melawan angka inflasi yang meningkat. Cina telah meningkatkan suku bunga untuk ‘mendinginkan suhu’ ekonomi dan melambatkan laju inflasinya yang telah terlalu kuat untuk pangan.

Di Armenia, cuaca buruk telah menyebabkan kontraksi output pertanian dan meningkatnya harga gandum impor telah membuat harga pangan naik, menurut dana moneter internasional (IMF) belum lama ini. “Harga pangan menyumbangkan setengah dari index harga konsumen, dan kenaikan harga mendorong inflasi lebih dari 9% di negara ini,” demikian menurut IMF.

Stok jagung dan kedelai turun

Lester Brown, presiden Earth Policy Institute, sebuah think tank di Washington mengingatkan bahwa dalam jangka panjang trennya cukup mengkhawatirkan, khususnya untuk kedelai. Ia mencatat bahwa pada tahun 1995 Cina mengonsumsi seluruh produksi kedelainya, namun sejak saat itu produksinya tidak pernah meningkat sementara konsumsi meningkat lima kali lipat.

Lebih jauh Brown mengutarakan bahwa demand kedelai dunia, yang banyak digunakan untuk bahan baku pakan ternak, meningkat rata-rata lebih dari 6% per tahun, namun hasil panen relatif konstan. Akibatnya banyak tanah yang dikonversikan untuk menanam kedelai. Brown mencontohkan lebih banyak tanah di Amerika Serikat dikonversikan untuk kedelai daripada untuk gandum. Di Brazil, tanah yang digunakan untuk menanam kedelai lebih banyak daripada untuk seluruh biji-bijian lain.

Brown menekankan bahwa di atas semua itu, keterbatasan air dan perubahan iklim akan secara pasti mengganggu output komoditi. Setiap satu derajat centigrade peningkatan temperatur akan berdampak berkurangnya panen biji-bijian sebesar 10%.

Sudakshina Unnikrishnan, seorang analis komoditi dari Barclays Capital mengatakan bahwa harga gandum mungkin tidak akan melampaui puncak harga pada tahun 2008 karena stok gandum dunia 45% lebih banyak pada tahun tersebut. Namun pasar komoditi jagung akan lebih ketat dikarenakan stok jagung Amerika Serikat turun hingga kurang dari setengah dibanding tahun lalu dan merupakan yang terendah selama 15 tahun terakhir. Cina yang secara tradisional mengekspor jagung berbalik melakukan impor sejak 6 bulan terakhir.

Sementara itu departemen pertanian Amerika Serikat (USDA) pada Januari lalu telah memperkirakan turunnya produksi kedelai dan jagung masing-masing 1% dan 5%. Menurut laporan USDA, perdagangan jagung dunia diperkirakan turun sebesar 1 juta ton dengan jumlah impor lebih rendah oleh Brazil, Korea Selatan dan Turki. Sebaliknya, USDA mencatat Indonesia akan meningkatkan impor jagungnya. Sementara itu ekspor komoditi ini dari Argentina diperkirakan akan turun akibat panen yang turun.

Sejak Desember tahun lalu, harga jagung di pasar ekspor telah naik $20/ton menjadi $267/ton karena permintaan yang kuat dari pasar domestik dan meningkatnya kekeringan di Argentina, demikian menurut laporan USDA.

Dengan berbagai faktor di atas, harga komoditi masih akan mungkin terus naik karena terbatasnya supply biji-bijian Russia. Dengan kemungkinan Russia mengimpor jagung, harga di pasar internasional sudah pasti akan terus membubung.

Turunnya pasokan jagung di negara-negara yang secara tradisional merupakan produsen jagung mungkin bisa tertolong oleh produksi dari negara-negara seperti Ukraina, Serbia dan Afrika Selatan, sehingga laju harga jagung di pasar internasional bisa direm. Ditambah, turunnya kualitas panen gandum di Australia dan Kanada berarti bertambahnya pasokan gandum untuk pakan ternak yang bisa digunakan untuk menggantikan jagung di beberapa negara seperti Korea Selatan dan Israel.

Dampak naiknya harga komoditi

Keresahan akibat tingginya harga pangan, ketegangan geopolitik, inflasi global akan merupakan dampak tak terelakkan jika harga komoditi terus meningkat. “Kita sedang memasuki wilayah yang berbahaya, kepala ekonom FAO Abdolreza Abbasian memperingatkan.

Majalah Time melaporkan aksi saling menyalahkan sudah mulai terlihat di antara para pemimpin negara maju dan negara sedang berkembang. Menteri keuangan Brazil dan ahli ekonomi beberapa negara sedang berkembang menyalahkan kebijakan moneter Amerika Serikat telah mendorong peningkatan harga komoditi. Namun Ben Bernanke, kepala Bank Federal AS membela diri dengan mengatakan bahwa kebijakan moneternya adalah untuk mendorong laju ekonomi AS yang tengah resesi. Sebaliknya, Bernanke menuding tingginya permintaan dari negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi pesat lah yang merupakan sumber inflasi internasional.

Sementara itu Abbasian mengatakan bahwa biang kerok sesungguhnya adalah cuaca buruk dalam masa tanam dan panen yang kritis.

Harga pangan yang telah meningkat 20% akhir-akhir ini telah membuat negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Vietnam, Indonesia, India dan Russia mengambil langkah mengurangi bea masuk impor pangan.

Hingga tulisan ini diturunkan, para analis komoditi memperkirakan harga pangan masih akan mungkin terus meningkat dari level yang sekarang. Diperkirakan, harga komoditi biji-bijian akan meningkat 10-15% yang akan berdampak pada naiknya harga pangan 8-9% di kawasan Asia. 

Sumber : www.poultryindonesia.com

2 komentar:

  1. Informasi yang sangat bermanfaat, tetapi bagaimana dengan kondisi trend kenaikan harga pakan di wilayah Kediri, Madiun, Jombang, Ponorogo,Magetan, Ngawi, Nganjuk ya

    BalasHapus
  2. @Satmoko : Kenaikan pakan diikuti hampir semua wilayah di Indonesia.

    BalasHapus